Tuesday 24 August 2010

KOLABORASI MANAJEMEN.

BAB.I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
“Dan Allah Menjadikan Bumi Untukmu Sebagai Hamparan Supaya Kamu Menjalani Jalan Jalan Yang Luas di Muka Bumi” (Q.S. Nuh. 19 – 20)
Kawasan konservasi di Indonesia yang luasnya 44,84 juta Ha (PIKA,2001 dalam Royana, 2003) mengalami berbagai permasalahan atau konflik yang cukup rumit. Permasalahan yang terjadi tersebut diantaranya adalah praktek illegal logging, reclaiming lahan, pembuatan jalan, konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan, perburuan satwa dan kebakaran hutan.
Permasalahan kawasan konservasi di Indonesia utamanya dalam kawasan Taman Nasional  (darat dan laut) seluas hampir 70 % dari total kawasan konservasi (Royana,2003) dalam pengelolaannya mengalami berbagai konflik dengan masyarakat baik dalam kawasan (enclave) maupun di luar kawasan (surrounding area). Konflik atau masalah tersebut salah satu penyebabnya adalah pemahaman konservasi selama ini berfokus pada perlindungan kawasan (preservation) khususnya keanekaragaman hayati (flora dan fauna), sedangkan disisi lain didalam kawasan terdapat masyarakat lokal yang telah mendiami kawasan tersebut secara turun temurun dan memiliki pengetahuan konservasi secara lokal, tetapi selama ini masyarakat tersebut cenderung untuk dimarjinalkan, dengan menggunakan tindakan represif dalam mengemban misi konservasi.
Perubahan paradigma dalam pembangunan kehutanan dan munculnya konflik yang dipandang rumit, mendorong munculnya ide pembaharuan terhadap sistem pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Pola pendekatan sentralistik (top down) yang terpraktekkan mulai dirubah menjadi desentralisasi dengan pendekatan partisipatif holistik di masyarakat.
Perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat dalam dan sekitar kawasan konservasi, perlu penyiapan kondisi sosial masyarakat (social preparing) yang sadar akan pentingnya aspek perlindungan sumberdaya alam (social awareness) yang seimbang dengan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari, perlu terus diposisikan dan dikembangkan dengan berbagai bentuk kegiatan seperti proses fasilitasi, penyuluhan, pemberian keterampilan (capasity building) dan pendampingan dari berbagi pihak (stake holders) terhadap masyarakat perlu diwujudkan. Proses ini telah dilaksanakan di beberapa kawasan konservasi/Taman Nasional, tetapi belum menemukan titik pencerahan yang disebakan oleh persepsi atau pandangan dari stake holder yang ada belum satu persepsi, pemerintah belum memiliki program terhadap penanganan kasus yang sedang terjadi, sehingga dukungan pemerintah sepertinya tidak ada, Pemerintah daerah mengembalikan urusan konservasi ke pemerintah pusat.
Taman Nasional Lore-Lindu secara legalitas formal ditunjuk sebagai Taman Nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1993 melalui SK No 593/Kpts-II/1993 dan dikukuhkan atau ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore - Lindu pada tahun 1999 dengan luas kawasan 217.991,18 Ha berdasarkan SK Menhutbun No 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan tata batas temu gelang 644Km. (The Nature Conservancy,2003)
Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) berfokus pada pemerintah pusat   (Departemen Kehutanan) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Taman Nasional Lore-Lindu (BTNLL) dengan kondisi Sumberdaya Manusia (SDM) masih kurang, dan pendanaan kegiatan belum cukup dan seimbang dengan pengembangan kegiatan masyarakat dalam kawasan TNLL dengan jumlah  kabupaten ada 2 yaitu kabupaten Poso dan Donggala. Disisi lain beberapa pihak dalam TNLL yang melaksanakan program/proyek cukup banyak.
Dengan adanya beberapa pihak tersebut, termasuk masyarakat dipandang perlu untuk merumuskan suatu kebijakan yang dapat mengakomodir berbagai pihak agar tidak terjadi kepentingan yang sepihak, dengan membentuk wadah dari tingkat desa sampai tingkat yang lebih tinggi. Pengelolaan TNLL dengan metode Colaborative Management (Co-Management) atau pengelolaan multi pihak telah dilaksanakan di 5 desa, sebagai uji coba program. Untuk mengembangkan program tersebut secara berkesinambungan dan berlanjut maka diperlukan dukungan dari berbagai pihak.
Analisis Masalah Dalam Taman Nasional Lore – Lindu
            Ada beberapa permasalahan yang terdapat di Taman Nasional Lore-Lindu antara lain :


1.       Keadaan internal BTNLL seperti kurangnya Profesionalisme SDM
2.       Keadaan eksternal BTNLL dengan instansi kehutanan dan instansi terkait lainnya.
3.       Gangguan terhadap kawasan TNLL seperti perambahan, pencurian kayu, tata batas dll.
4.       Terbatasnya SDM dibandingkan dengan luas kawasan TNLL.
1.2.  Tujuan dan Kegunaan
Tujuan Praktik Umum/Magang adalah :
1.      Untuk mengetahui Pengelolaan Taman Nasional Lore-Lindu menuju Co-Management.  
2.      Untuk mengetahui prospek Pengelolaan TNLL dengan pola Co-Management, dan menganalisis stake holders TNLL. 
Manfaat praktek adalah untuk menambah pengetahuan dan aplikasi ilmu-ilmu kehutanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Taman Nasional

Menurut Undang – undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyatakan bahwa Taman Nasional adalah Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. (Departemen Kehutanan, 1990)

2.2. Sejarah Kawasan Konservasi di Indonesia

Menurut Aliadi, A (2003) bahwa pada awalnya kebijakan kebijakan konservasi mulai diterapkan oleh pemerintah Belanda, yaitu berupa penetapan kawasan cagar alam dan suaka margasatwa. Kebijakan ini didorong oleh hobi, atau kecintaan terhadap alam, dari beberapa orang belanda. Kebijakan yang diambil mencerminkan nilai nilai konservasi yang dianut, yaitu perlindungan tumbuhan dan satwa.
Dalam laporan FAO / UNDP (1977) disebutkan bahwa upaya-upaya konservasi di Indonesia diawali dengan penetapan Cagar Alam Cibodas di Jawa Barat pada tahun 1889 yang bertujuan untuk kepentingan penelitian tumbuhan dan pegunungan. 

Dalam sejarah Kehutanan Indonesia (1986) penetapan kawasan hutan untuk dilindungi telah dimulai sejak tahun 1714, yaitu ketika C. Chastelein anggota dewan Hindia melalui surat wasiat tanggal 13 Maret 1714 memberi kebebasan kepada hamba sahaya dan mewariskan kepada mereka dua bidang persil dekat depok seluas 6 Ha, dengan syarat bahwa lahan itu tidak boleh dipindah tangankan,dan tidak boleh dijadikan lahan usaha tani. Pada tanggal 13 Maret 1913 pemangku lahan itu diserahkan oleh Desa Tanah Depok kepada perkumpulan perlindungan alam.
Aliadi, A. (2003) membagi pengelolaan Taman Nasional dalam 3 Periode yaitu ;
1.       Periode sebelum tahun 1980
2.       Periode antara 1980 – 1990
3.       Periode setelah 1990
Konsep Taman Nasional diperkenalkan sejak 1872, ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai Taman Nasional di Amerika. Sementara konsep Taman Nasional diperkenalakan di Indonesia pada tahun 1980, bertepatan dengan pengumuman strategi pelestarian dunia (World Conservation Strategy), menteri Pertanian mengeluarkan pernyataan pada tangga l6 Maret 1980 mengenai penetapan 5 kawasan Suaka Alam sebagai Taman Nasional  yaitu Taman Nasional gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gde pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo, (Sangadji, 2001)


2.3.  Masalah Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Menurut Siswanto (1998) gangguan hutan yang cukup menonjol dalam kawasan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi  antara lain :
1.       Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang melibatkan masyarakat penadah, backing dan aktor intelektual terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Tanjung Putting, dan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone.
2.       Perambahan kawasan dengan melibatkan cukup banyak penduduk secara terkoordinir ( adanya aktor intelektual dan backing) terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kutai, dan Taman Nasional Rawa Oupa.
3.       Penebangan liar/pencurian hasil hutan terjadi di hampir seluruh Taman Nasional, terutama di Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Leuser, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Oupa, Taman Nasional Karimun Jawa dan Taman Nasional Meru Betiri.
4.       Penjarahan dan pengkaplingan oleh massa terjadi di Taman Nasional Meru Betiri dan Cagar Alam Kareumbi.
5.       Pemboman dan penggunaan bahan kimia untuk mencari Ikan terjadi di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Taman Nasional Taka Bonerate, dan Taman Nasional Ujung Kulon.
6.       Penggembalaan liar antara lain di Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon.
7.       Kebakaran hutan di Taman Nasional Kutai.

Berbagai kegiatan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di Taman Nasional seperti penyuluhan tentang kegiatan yang dilarang dilakukan dalam kawasan Taman Nasional, penangkapan pelaku pelanggaran kepada aparat Kepolisian, dan mengikuti proses persidangan di Pengadilan terhadap pelaku pelanggaran. Selain itu dibeberapa tempat juga dilakukan upaya represif seperti pengusiran masyarakat  yang dianggap telah melakukan kegiatan illegal di dalam kawasan Taman Nasional. Misalnya mengelola Sawah dan Ladang di dalam kawasan Taman Nasional. Beberapa kasus pengusiran Masyarakat antara lain terjadi di Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Bali. (Munggoro, 1999)
Menurut Saparjadi, (1998), sampai tahun 1998, Indonesia memiliki 38 Taman Nasional yang tersebar di seluruh Propinsi di Indonesia. Taman Nasional tersebut mencakup total luas kawasan 14,22 Juta Hektar atau sekitar 60 % luas keseluruhan  kawasan konservasi di Indonesia, walaupun demikian keberadaan Taman Nasional sendiri tidak luput dari berbagai masalah atau kasus.
2.4. Konsep Konservasi Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Konservasi.
Community Based Conservation (CBC) atau yang diterjemahkan sebagai Konservasi berbasis masyarakat, dijelaskan (bukan di defenisikan atau diberi pembatasan) sebagai strategi konservasi  yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal sebagai aktor utama yang berpartisifasi dari perencanaan hingga evaluasi serta dalam pengelolaannya. Istilah konservasi yang dimaksudkan disini adalah konservasi dalam pengertian Biologi  (Conservation in Biological Sense) yang meliputi konservasi spesies,  habitat dan ekosistemnya, namun dapat juga diperluas hingga mencakup konservasi kultural. Dalam strategi ini masyarakat lokal dilibatkan sebagai mitra aktif dan menjadi pembina benefit terbesar dari pelaksanaan suatu proyek CBC, bukannya sekedar resipien pasif dalam pelaksanaan rencana yang dibuat oleh pihak luar, sehingga biodiversitas dapat dipertahankan berkembang. ( Royana, 2003)
Canter (1979) dalam Sembiring (1999) menekankan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Peran serta masyarakat merupakan proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian peran serta masyarakat akan dapat meningkatkan kualitas keputusan pemerintah dan disisi lain akan dapat mereduksi kemungkinan munculnya berbagai konflik, karena menghasilkan tingkat penerimaan keputusan yang lebih besar pada masyarakat  (Koesnadi, 1990 dalam Pangemanan , 2001)
Bentuk pengelolaan yang ideal adalah masyarakat  bersama pemerintah dan pihak- pihak lain melaksanakan proses perencanaan, implementasi dan evaluasi secara bersama-sama, sehingga kepentingan semua pihak dapat ditemui. Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Colaborative Management (Co – Management) yang didefenisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal (masyarakat dan stake holders lain) dalam pengelolaan sumberdaya seperti hutan, terumbu karang, mangrove dan lainnya. Dalam hal ini, pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu kawasan (misalnya desa) seharusnya merupakan gabungan antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat desa sebagai subjek pengelolaan SDA tersebut, mulai dari perencanaan hingga evaluasi pengelolaan tersebut. Dalam konsep ini, masyarakat lokal merupakan mitra penting bersama sama dengan pemerintah dan stake holders lainnya dalam pengelolaan SDA disuatu kawasan (White at. al., 1994 dalam Pangemanan, 2001).
2.5.Stake Holders (Pihak terkait) Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Menurut Munggoro, (2003), bahwa stake holders biasanya sadar akan kepentingannya dalam pengelolaan kawasan konservasi (meskipun mungkin tidak sadar tentang isu-isu dan masalah – masalah pengelolannya sendiri). Stake holders umumnya memiliki kapasitas yang spesifik (misalnya pengetahuan keterampilan) dan atau keunggulan relatif (misalnya jarak, mandat) untuk pengelolaan kawasan tersebut dan stake holders biasanya bersedia menginvestasi sumberdaya spesifik (misalnya waktu, uang, wewenang politik) dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Manajemen Kolaboratif  (kemitraan) membutuhkan beberapa prasyarat antara lain perlunya kewenangan yang lebih besar, jelas dan tegas dengan para pihak di lapangan. Selain itu diperlukan fleksibilitas dan penyesuaian dengan kondisi dan aspirasi setempat. Manajemen kolaboratif juga mensyaratkan berbagai kemampuan menggalang dana dari pihak yang bermitra dan mengupayakan kesinambungannya, lebih penting lagi masyarakat bisa ikut memanfaatkan keberadaan Taman Nasional sekaligus bertanggung jawab atas kelestariannya. ( Widodo, 2003)



BAB III

GAMBARAN UMUM BALAI TAMAN NASIONAL LORE LINDU


3.1 Perencanaan

Rencana Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu antara lain :
-         Penataan kawasan yang meliputi : tata batas kawasan, dengan melakukan penataan batas-batas kawasan, pemasangan papan petunjuk/pengumuman, penegakan hukum dan dan pencegahan kebakaran melalui penyluhan dan pameran- pameran, lokakarya tentang konservasi TN. Lore-Lindu.
-         Pengawetan Plasma Nutfah dan pemanfaatan kawasan meliputi : pelayanan pengunjung, penelitian intern dan pendidikan konservasi alam. Kegiatan penelitian intern untuk pengawetan plasmanutfah dalam bentuk kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi flora dan fauna, pembinaan habitat dan populasi jenis. Untuk kepentingan pendidikan konservasi meliputi : identifikasi objek penelitian dan pendidikan, objek pemanfaatan penunjang budidaya dan wisata alam. 
-         Penanaman jenis tumbuhan yang bisa hidup lama, mudah dilihat dan dikenal. Penataan sistem zonasi dimaksudkan dalam rangka menjaga efektifitas pengelolaan Tanman Nasional Lore Lindu, dimana pelestarian dan pemanfaatan dapat dilaksanakn dan dikembangkan secara optimal atas dasar pertimbangan ekologis, ekonomis social budaya serta sesuai dengan rencana pembangunan wilayah.
-         Pemangkuan, optimalisasi yang berkaitan dengan kegiatan pemangkuan adalah terpenuhinya segala potensi yang memperkuat institusi pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu meliputi : sistem kemitraan, penguatan kemitraan sub seksi wilayah konservasi dalam menguatkan fungsi resort- resort , pengembangan fasilitas dalam pembentukan kelompok masyarakat peduli Taman Nasional atau lembaga konservasi setingkat desa disekitar/di dalam kawasan hutan.
Rencana Pemanfaatan.

Pemanfaatan kawasan Taman Nasional Lore Lindu dapat dikelompokan kedalam (1) Pemanfaatan untuk pengembangan kepariwisataan, (2) Pemanfaatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam kaitannya dalkam pelestarian/konservasi potensi kawasan, (3) Pemanfaatan untuk bina cinta alam, (4) Pemanfaatan untuk sarana dan prasarana.

Rencana Perlindungan.

Rencana perlindungan meliputi :
-         Pencegahan dan penanggulangan, yaitu pengamanan potensi kawasan dari semua gangguan kebakaran hutan atau gangguan lain yang dapat merusak.
-         Mengadakan program vaksinasi bagi ternak peliharaan secara berkala.
-         Pencegahan dari gangguan masyarakat sekitar Taman nasional Lore Lindu dengan mengadakan penyuluhan dan bimbingan secara berkesinambungan, atau dapat dilakukan melalui sekolah sekolah, mesjid, gereja, dan melalui tempat ibadah lain dengan tujuan untuk memupuk rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar khususnya Taman nasional Lore Lindu.
-         Pencegahan pencurian kayu (illegal Loging) dan satwa liar.
-         Koordinasi perlindungan dan pengamanan dalam kaitannya dengan kegiatan pengamanan terhadap gangguan kawasan TNLL, maka seluruh kegiatan baik yang bersifat pembinaan maupun yang bersifat represif perlu dikoordinasikan pelaksanaannya secara terpadu dengan semua pihak.
3.2. Organisasi
           
Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/kpts-II/2002 dan No. 6187/kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 mengenai penetapan organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional  dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam, maka Balai Taman Nasional Lore Lindu termasuk dalam Tipe B yang terdiri dari Kepala Balai, Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Koservasi Wilayah I,II, dan III dan Kelompok jabatan Fungsional.


 3.3.  Pelaksanaan

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yang meliputi pelayanan, perijinan dan pembinaan serta pengendalian, Balai TNLL telah melaksanakan kegiatan yaitu :
Pelayanan
Kegiatan pelayanan kepada masyarakat meliputi :
Promosi dan informasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang berkaitan dengan potensi dan ,manfaat serta fungsi TNLL bagi masyarakat lokal dan penduduk Sulawesi Tengah pada umumnya dan Wistawan mancanegara melalui pameran konservasi SDA, penerbitan Leaflet, sosialisasi dan dialog-dialog peraturan terkait pada masyarakat, penyebaran informasi tentang TNLL melalui informasi elektronik dan media massa. Realisasinya yaitu dalam bentuk :
a.       Pameran tingkat propinsi yang dirangkaikan dengan hari Cinta Puspa dan Satwa bersama pihak yang tergabung dalam FKTNLL
b.      Pemasangan papan informasi dan petunjuk pada daerah-daerah rawan gangguan. Kegiatan ini merupakan wujud dari kerjasama BTNLL dengan para Mitra dan sebagian LSM lokal.
c.       Balai Taman Nasional juga berperan sebagai fasilitator dan pemakalah pada seminar atau lokakarya tentang Taman Nasional dan lingkungan hidup dan kebijaksanaan tata ruang yang berhubungan dengan tata ruang TNLL.
d.      Perizinan Balai TNLL
Balai TNLL telah menerbitkan surat izin masuk kawasan untuk pengunjung mancanegara dan domestik untuk kegiatan pariwisata maupun penelitian sebanyak 245 orang.
e.       Pembinaan dan Pengendalian
Kegiatan yang telah dilaksanakan oleh BTNLL dal;am kaitannya dengan pembinaan meliputi :
1.            Pembinaan kemitraan secara berkesinambungan dengan LSM-LSM lingkungan, anggota masyarakat, anggota masyarakat, pemerhati maupun instansi lainnya.
2.            Pembinaan staf dan Polhut lingkup Balai TNLL melalui pendekatan partisipatif.
3.            Pendekatan dan pembangunan komunitas masyarakat di dalam (desa Katu) dan sekitar kawasan ( ± 64 desa ) oleh BTNLL dilaksanakan bekerjasama dengan LSM lingkungan dan FKTNLL melalui kegiatan dialog, lokakarya, pelatihan dan bantuan usaha kecil.
4.            Pengamanan kawasan dilakukan secara rutin oleh Jagawana/Polhut BTNLL dengan kegiatan berupa penjagaan di Pos Pengamanan lalu lintas hasil hutandengan kegiatan berupa : Patroli mendadak maupun patroli gabungan dalam rangka mengatasi perambahan dan penebangan liar.

3.4 Koordinasi

Untuk menjalin kelancaran tugas maka koordinasi antar berbagai pihak sangat diperlukan :
A. Koordinasi Internal.
1.       Kepala Balai, Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi di lingkungan balai bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing-masing serta memberikan bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.
2.       Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi, dan Kelompok fungsional di lingkungan Balai TNLL bertanggung jawab langsung kepada Kepala Balai TNLL
B. Koordinasi Eksternal
Kegiatan pengelolaan TNLL berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas dari berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan kawasan TNLL. Oleh karena itu koordinasi dengan instansi terkait maupun dengan LSM sangat penting. Bentuk koordinasi dengan instansi lain dapat berupa surat menyurat, rapat maupun dengar pendapat.

3.5 Pengawasan

Pengawasan dilakukan dengan satu sistem pelaporan secara berkala (setiap bulan) dimana setiap petugas melaporkan hasil kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.




























BAB IV
METODE

4.1. Tempat dan Waktu
Pelaksanaan praktikum dilaksanakan di kantor Balai Taman Nasional Lore-Lindu, Lembaga Mitra BTNLL, dan lokasi pengamatan Taman Nasional Lore-Lindu.
Waktu pelaksanaan  dimulai  pada tanggal 18 Agustus 2003  sampai dengan   6 Oktober 2003.

4.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah : Peta TNLL, Kamera, dan alat tulis menulis.

4.3. Teknik Pelaksanaan Praktikum.
Metode yang digunakan adalah deskriftip dengan mengumpulkan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui literatur seperti laporan kegiatan, draf perencanaan BTNLL,  dan hasil dokumentasi dari BTNLL maupun Lembaga Mitra BTNLL. Data primer diperoleh melalui hasil pemantauan/pengamatan dan wawancara dengan masyarakat di lokasi Taman Nasional Lore – Lindu.
Metode penulisan menggunakan teknik penulisan ilmiah yang dikeluarkan oleh Dikti dan dipadukan dengan metode penulisan yang dikeluarkan oleh Program Studi Manajemen  Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako.

 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil
A. Potensi Taman Nasional Lore Lindu
1.       Tidak kurang dari 266 jenis flora dan 200 jenis fauna
2.       Megalith (Patung batu besar pra sejarah) sekitar 430 0byek
3.       415 jenis material obat tradisional dari 287 jenis tumbuhan
4.       Kultur dan budaya yang pluralistis
5.       Topografi variatif 200 – 2335 mdpl
6.       Fungsi hidrologi (nilai ekonomi Air :89,9 milyar/tahun) penelitian Vincent Deschamps tahun 2001. (Sumber :  Balai Taman Nasional Lore-Lindu)
 
B. Keanekaan Hayati
Dalam Taman Nasional Lore-Lindu terdiri dari ekosistem utama yaitu ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah dan ekosistem Hutan Hujan Pegunungan, disamping kedua ekosistem tersebut  terdapat dua sub zona utama yaitu :
1.       Sub zona hutan hujan pegunungan yang merupakan transisi antara ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah dan Hutan Hujan Pegunungan.
2.       Sub zona Alpin Hutan Pegunungan merupakan transisi antara hutan Pegunungan dan Hutan Alpin
Keanekaan flora di dalam TNLL beragam, antara lain : Pawa                               ( Mussaendopsis beccariana), Rotan Tahiti (Disoxylum sp), Mpire (Caryoat spp), Aren atau Saguer (Arenga pinnata), Ntorode (Pterospermum subpeltatum), Andolia (Canangium odoratum), Palili (Lithocarpus sp), Uru (Elmerillia sp), Kauntara (Meliosma nitida), Palm Sulawesi (Figapeta sp), Paku pohon (Alsophylla sp) dan lain lain.
Fauna yang ada sangat beragam mulai dari Mamalia sampai jenis Reftil. Jenis Fauna antara lain adalah : Anoa (Bubalus sp), Babi Rusa (Baby roussa babyrussa), Babi Sulawesi (Sus celebensis), Monyet (Macaca tongkeana), Tarsius (Tarsisus spectrum), Burung Allo (Rhyticerox cassidix), Pecut ular (Anhinga rufa), Burung Maleo (Macrochepalon maleo), Ular Pithon (Phyton reticulates), Ular Kobra (Ophiophagus hannah), Ular racers (Elaphe erithrura) dan lain lain.

A.    Kemitraan Balai Taman Nasinal Lore-Lindu

Balai Taman NasionaL lore-Lindu memiliki mitra kerja dari berbagai LSM/NGO lokal, nasional dan inernasional antara lain :

1.The Nature Conservancy (TNC)
2.Care International Indonesia
3.Stability of Rainforest Margin (STORMA)
4.CSIADCP
5.Forum Komunikasi Taman Nasional Lore-Lindu (FKTNLL)
6.Yayasan To Pekurehua
7.Yayasan Djambata
8.Yayasan Hukum Bantaya
9.Yayasan Kau Riva
10.   LPA Awam Green
11.   Mapala Galara Fakultas Hukum
12.   Lembaga Adat disetiap desa dalam TNLL
13.   Lembaga Pemerintah Dalam kawasan TNLL
14.   Yayasan Katopasa Indonesia (YAKIS)
15.   Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA)
16.   Gerakan Sahabat Maleo (GSM)
17.   Badan Koordinasi Kelompok Pencinta Alam (BKKPA)
18.   Yayasan Tadulakota (YAKOTA)
19.   YAKOBANG
20.   LPSL
21.   JKTI
22.   YEI

23.   YMI


D.  Badan Pertimbangan Pengelolaan TNLL
      Badan ini berfungsi /berperan ;
1.       Membangun komunikasi dan koordinasi dan komunikasi antar pihak bagi upaya pelestarian TNLL dan pembangunan masyarakat.
2.       Menggalang dukungan para pihak untuk pelestarian TNLL
3.       Bersama BTNLL memberi pertimbangan dan pemantauan terhadap rancangan dan implementasi proyek di dan sekitar TNLL
4.       Mendukung BTNLL dalam proses penyelesaian kasus perambahan TNLL
5.       Memberikan dukungan mitra Balai TNLL dalam upaya pelestarian TNLL
6.       Bersama sama BTNLL mengupayakan sumber pendanaan bagi pelestarian TNLL

E.  Lembaga Konservasi di Taman Nasional Lore-Lindu
Setelah ter     bentuk Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) dan Forum Wilayah Penyangga (FWP), maka menghasilkan :
1.       Terbentuknya KKM di 5 desa di Kecamatan Lore Utara (Wuasa, Sedoa, Betue, Watutau, dan Kaduwaa) di fasilitasi The Nature Conservancy.
2.       Terbentuknya FWP di 6 Kecamatan sekitar TNLL .
Organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Di tingkat desa ; Lembaga Konservasi Desa (LKD)
2.       Di tingkat kecamatan ; Forum Wilayah Penyangga (FWP) atau Forum Konservasi     Kecamatan (FKK)
3.       Di tingkat kabupaten / Propinsi : BPPTNLL
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Skema/struktur  kelembagaan sebagai berikut

 

 5.2. Pembahasan

A . Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Menuju
Co-Management

Kelembagaan BPPTNLL  dimulai dari tingkat bawah (bottom up) yaitu masyarakat yang mendiami kawasan TNLL dari tiap tiap desa. Lembaga di tingkat desa dinamakan Lembaga Konservasi Desa atau LKD, yang dibentuk secara bersama oleh BTNLL dan Mitranya, Fungsinya adalah memfasilitasi kegiatan dan menyelesaikan masalah konservasi ditingkat desa, apabila penyelesaian masalah tidak dapat diselesaikan ditingkat desa maka diselesaikan ditingkat kecamatan atau disebut dengan Forum Wilayah Penyangga atau Forum Konservasi Kecamatan (FWP atau  FKK) Sedangkan Untuk tingkat Kabupaten atau Propinsi menetapkan kebijakan yang sesuai dengan peraturan perundang undangan yang ada..
Penerapan Co-Management telah dilakukan di 5 desa yang difasilitasi oleh The Nature Conservancy dan BTNLL dengan melalui proses panjang,  pengambilan data dilakukan dengan metode yang disebut Perencanaan Konservasi Setempat (PKS) atau Site Conservation Planning (SCP) yang menggambarkan interaksi masyarakat dengan TNLL, Keadaan Sumberdaya Alam TNLL dulu, sekarang dan akan datang, dan strategi kedepan untuk pemulihan sumberdaya alam yang rusak. Pelaksanaan SCP menghadirkan berbagai ahli dalam hal hutan dan kehutanan seperti ahli di bidang Hukum, Sosial, Tanah, Kehutanan, Air, termasuk Polhut   dan lain-lain, jadi dalam penggalian data di masyarakat menghadirkan elemen penting sebagai konsultan.   Hasil penggalian data dari masyarakat  tersebut dijadikan pedoman yang ditulis dan dapat menghasilkan  Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM).
            Alur kerja proses tersebut adalah :
 Alur logika pembagian peran antar aktor dalam pengelolaan TNLL dapat di Lihat sebagai berikut :
Pembentukan badan pengelola TNLL sebagai bentuk wadah pengelola menuju pengelolaan bersama atau Co-Management didukung oleh beberapa hal :
Kekuatan
Terdapat beberapa unsur kekuatan yang mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta dukungan terhadap pembentukan Badan Pengelolaan Taman Nasional Lore-Lindu (BPTNLL) diantaranya adalah status kawasan, peraturan perundang-undangan, ekosistem khas, keanekaan hayati, perlindungan sumberdaya Air, kearifan lokal masyarakat, obyek wisata alam dan aksesibilitas.
1.       Status Kawasan.
Merupakan penggabungan dari tiga kawasan lindung, yaitu Suaka Margasatwa Lore Kalamata (Kep. Mentan No 522/Kpts/Um/1973). Hutan wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu ( Kep Mentan No 46/kpts /Um /1978).  Suaka Margasatwa Lore-Lindu (Kep. MentanNo 1012/Kpts/Um/1981. Dideklarasikan sebagai calon Taman Nasional pada waktu kongres Taman Nasional seduania di Denpasar Bali pada tahun 1982 ( SK Mentan No 736 /Mentan /X/1982. Ditunjuk sebagai Taman Nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1993 (SK Menhut No 593/Kpts-II/1993). Dikukuhkan atau ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore-Lindu  pada tahun 1999 seluas 217.991,18 Ha. (SK Menhutbun No 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999) tata batas telah temu gelang 644 Km. (The Nature Conservancy 2003)
2.       Peraturan Perundang-undangan
Telah ada pedoman pokok dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan diantaranya adalah UU Nomor 5 tahun 1967, Undang-undang No 4 tahun 1982, Undang-undang No 5 tahun 1990, dan ditetapkannya lembaga/instansi pengelola TNLL yang ditetapkan oleh Menteri  Kehutanan dan Perkebunan  No. 6186/kpts-II/2002 dan No. 6187/kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 mengenai penetapan organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional  dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam, maka Balai Taman Nasional Lore Lindu termasuk dalam Tipe B yang terdiri dari Kepala Balai, Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Koservasi Wilayah I,II, dan III dan Kelompok jabatan Fungsional.

Undang-undang tersebut diatas  sifatnya sentralistik atau mengacu pada keputusan dari pusat, sedangkan di era reformasi saat ini telah lahir Undang-undang No 22 tentang Otonomi Daerah. Untuk mengakomodir hal tersebut maka perlu dibuatkan suatu Perda yang berhubungan dengan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu. Alasan yang mendasari adalah Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berada di Propinsi Sulawesi Tengah, di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Disisi lain dalam kawasan TNLL terdapat beberapa masyarakat/enclave yang mendiami Taman Nasional, baik masyarakat asli maupun pendatang yang diurus oleh pemerintah daerah, dan masyarakat tersebut masih tergantung dengan sumberdaya alam/hutan TNLL.
3. Potensi Keanekaan Hayati Taman Nasional Lore – Lindu
Kekayaan  jenis flora dan fauna TNLL merupakan aset yang besar, baik masyarakat Sulawesi – Tengah maupun masyarakat Indonesia, sebagai gudang Plasmanutfah yang berfungsi sebagai pengawetan berbagai jenis sumberdaya hayati yang memungkinkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan jenis-jenis yang dapat dibudidayakan, baik kepentingan protein Nabati dan Hewani,  Kosmetik, Obat-obatan, Kedokteran, Penangkaran satwa dalam kawasan seperti budidaya Kupu-kupu serta ilmu pengetahuan secara luas.
4.Dukungan Terhadap BTNLL
Untuk membentuk Pengelolaan TNLL menuju pengelolaan secara Co-Management maka diperlukan beberapa instansi/lembaga untuk memberi dukungan diantaranya adalah  dukungan dari Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten Pemerintah Daerah/Pemda), Lembaga Mitra (NGO Internasional dan Lokal) ,  Perguruan Tinggi dan pihak pihak lainnya yang bekerja untuk TNLL.

Dukungan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan kawasan konservasi saat ini  masih dianggap sebagai suatu kegiatan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dengan mengacu pada Undang undang No 22 tentang Otonomi Daerah dan Undang undang Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Untuk sampai pada pengelolaan yang sinergis,  maka dukungan Pemda bagi BPPTNLL sangat diperlukan  berupa pemberian surat keputusan atas adanya wadah tersebut, pemberian rangsangan insentif atau (reward) bagi masyarakat dalam kawasan yang berusaha untuk terciptanya pengelolaan TNLL yang lestari, penataan ruang, mengontrol pemanfaatan sumberdaya alam dalam kawasan TNLL. Strategi yang telah dilakukan TNLL dan mitranya dalam penguatan pengelolaan Co-management melalui wadah BPPTNLL  adalah mengadakan pertemuan dengan pemerintah kabupaten Poso dan Donggala inisiatif ini dilakukan karena kabupaten Poso dan Donggala adalah 2 kabupaten yang berada dalam kawasan TNLL. Dari kedua pertemuan tersebut telah melahirkan kesepakatan bersama untuk melaksanakan pertemuan dengan pemerintah propinsi Sulawesi – Tengah dan akan mengadakan pertemuan melalui Semiloka (seminar dan lokakarya) pengelolaan BPPTNLL    
Sampai saat ini strategi menuju pengelolaan TNLL menuju pengelolaan Co-Management telah ada seperti yang telah dirumuskan oleh BTNLL melalui visinya  (Hamzah,2003) adalah:
1.      Strategi pengelolaan bersama
2.      Strategi kesepakatan masyarakat
3.      Strategi kepedulian masyarakat
4.      Strategi daerah penyangga
5.      Strategi pengawasan dan penegakan hukum
6.      Strategi penelitian dan monitoring
7.      Staregi peningkatan kapasitas
8.      Strategi zonasi Taman Nasional
9.      Strategi tourisme dan ekotourisme
10.  Strategi Pengumpulan dana
           
Untuk sampai pada pencapaian strategi pengelolaan bersama maka beberapa strategi yang perlu dibangun lebih awal adalah strategi kesepakatan masyarakat, kepedulian masyarakat, pengawasan dan penegakan hukum. Contoh dari ke 3 Pelaksanaan strategi yang pernah dibangun adalah kesepakatan secara sah atau resmi antara TNLL dengan penduduk di sekitar TNLL seperti :
-         Toro tahun 1998, hal ini dijadikan dasar karena adanya pola pengelolaan (kelola ruang) yang sama dengan sistem zonasi.
-         Katu tahun 1999, penggalian kearifan lokal, penelusuran sejarah, pemetaan tata ruang  pengelolaan sumberdaya tradisional.
-         Watutau 1999, masyarakat Watutau dan BTNLL melakukan kesepakatan yang isinya masyarakat Watutau diperbolehkan  melakukan pemanenan lebah madu  asal tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian.
-         Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM), yang telah dilaksanakan di 5 desa sebagai contoh awal (Sedoa, Wuasa, Betue, Watutau, dan Kaduwaa) di kecamatan Lore-Utara Kabupaten Poso tahun 2002, dengan pendekatan yang dilakukan adalah konservasi areal, konservasi fungsi, dan konservasi Jenis.
5. Pengakuan Internasional
Taman Nasional Lore-Lindu telah diakui oleh beberapa lembaga internasional seperti :
·Ditetapkan sebagai Cagar Biosphere oleh UNESCO,1977
·Pusat Keanekaragaman Tumbuhan (Plant Diversity Centre)
·Areal Burung Endemik (Endemik Bird Area) oleh IUCN, WWF, TNC dan Bird Life International).
(Hamzah, 2004)
6. Penghargaan Lingkungan
Beberapa masyarakat yang berada dalam kawasan TNLL telah diberikan penghargaan  seperti :
1.Sahlan DJ (Pengobatan Tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan obat TNLL) tahun 2003
2.Naftali, (Kearifan Adat Masyarakat Lokal), 2003

3.Ali Kamisi (Pelestarian Burung Maleo), 2003

   (Hamzah, 2004). 


B . Prospek dan Konstribusi Taman Nasional Lore-Lindu

Prospek
            Taman Nasional Lore-Lindu memiliki prospek yang cukup baik dimasa yang akan datang, dengan mengembangkan beberapa bidang seperti pariwisata alam, ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan, peningkatan pendapatan daerah, peningkatan pendapatan masyarakat (sesuai dengan potensi TNLL). Prospek tersebut diperkuat dengan sejumlah peluang yang dimiliki seperti : Adanya LSM baik lokal, nasional, maupun internasional, meningkatnya jumlah peneliti di TNLL baik lokal maupun internasional, dalam kawasan terdapat berbagai jenis suku /etnis dan budaya yang berbeda yang dapat menyajikan atraksi seni dan budaya, telah ada fasilitas baik dari pemerintah pusat, maupun swasta, ada paket wisata alam lainnya seperti susur sungai dengan menggunakan perahu Kano (adventure rafting), beberapa potensi di Danau Lindu, dan aksesibilitas ke Tamanan Nasional cukup bagus.
            Dalam hal peningkatan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat, yaitu masyarakat dapat mengelola potensi potensi yang ada dalam TNLL  termasuk pengembangan jasa transportasi lokal, pemandu di TNLL (Guide). Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dalam kawasan TNLL maka bertambah pula pendapatan pemerintah daerah.
            Prospek cerah tersebut dapat terealisasi bila  asumsi seperti :
a.       Semua pihak dapat menyatukan visi dan misi BPPTNLL dan melaksanakan komitmen yang akan diputuskan.
b.      Profesionalisme pengelolaan tinggi dan pelayanan yang ramah dengan tetap mengedepankan masyarakat sebagai pelaku utama yang dilibatkan dalam perencanaan maupun pelaksanaan dan evaluasi kegiatan yang dilakukan setiap waktu evaluasi.
c.       Kelestarian potensi SDA dapat terjaga dengan melakukan monitoring setiap saat yang dilakukan secara bersama sama, dan koordinasi antar instansi terkait yang mantap.
d.      Dukungan pemerintah daerah ada.
e.       Adanya dukungan dana dan program dari berbagai pihak

Konstribusi
1. Aspek Ekonomi
            Konstribusi yang diberikan TNLL bagi pembangunan daerah Propinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala adalah pendapatan yang diperoleh dari Pengelolaan berbagai potensi di dalam TNLL seperti Pariwisata, Pertanian sistem lokal, Perikanan, Tumbuhan obat, dan lain-lainnya.
2. Aspek Ekologis
Secara ekologis TNLL memiliki peranan penting. Sumberdaya padang rumput yang luas dalam  TNLL merupakan tempat bagi hewan-hewan seperti Babi, Rusa, Babi-rusa, dan Burung - burung padang.
TNLL berfungsi dalam pengaturan tata Air, seperti pada daerah daerah tangkapan Air (catchtsmen area) yang dapat menampung Air dalam TNLL, Sungai-sungai di dalam TNLL merupakan sumber Air bagi kehidupan di Kota Palu.
Danau Lindu sebagai tempat penghidupan bagi masyarakat enclave Katu dapat dinikmati, saat ini potensi sumberdaya Danau Lindu cukup kaya seperti jenis ikan yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat di sekitar Danau Lindu (masyarakat Kulawi)

Di dalam TNLL terdapat jenis burung rangkong atau Allo (Rhyticerox cassidix) yang mempunyai hubungan ketergantungan terhadap tumbuhan seperti penyebaran pohon yang dibantu oleh burung tersebut, dengan memakan biji, terdapat burung Maleo (Macrochepalon maleo). Potensi sumberdaya Burung tersebut dapat dijadikan sebagai pariwisata misalnya pengamatan  burung (Bird Watching)
3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Penelitian
            Potensi dan karakteristik sumberdaya alam TNLL serta sosial budaya masyarakat setempat merupakan obyek menarik bagi para peneliti baik lokal, nasional, maupun internasional, untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Berbagai NGO di dalam TNLL telah banyak melakukan penelitian flora dan fauna, seperti STORMA, TNC, Bird Life International, Care International, IUCN, Yayasan Perlindungan Alam Lestari (YPAL) dan lain- lain.

Analisa Stake Holders
           
            Dengan adanya berbagai stake holders yang ada dalam TNLL, maka perlu dibuat suatu analisa untuk mengetahui keadaan/aksi yang dilakukan oleh stake holder,  analisa tersebut menggunakan Stake holder analisa (SA) yaitu suatu pendekatan holistik atau suatu prosedur untuk bisa memahami suatu sistem dan mengkaji dampak perubahan pada sistem dengan cara identifikasi stake holder yang utama, minat utama mereka pada sistem tersebut, pola permainan antar stake holder, yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pilihan manajemen (Anonim, 2003).
            Hampir semua proses dan aktivitas yang berjalan di TNLL merupakan proses dialog dan komunikasi diantara stake holders. Karenanya menjadi penting untuk mengetahui hubungan diantara para stake holder. Untuk itu dapat digunakan instrumen untuk menilai stake holder dengan metode 4 R (Rights, Responsibility, Revenue, Relationship). 
Tabel 1 Analisis Stake holders dalam kawasan TNLL          

 Analisis tersebut diatas hanya sebagian kecil yang dapat dipaparkan baik jumlah stake holder maupun hal lainnya yang menyangkut isi diatas.


 Analisa stake holders tersebut telah memperlihatkan bahwa dari berbagai stake holders tersebut umumnya baik dan program yang dijalankan cukup mengenai pada sasaran, tetapi manajemen secara kolaboratif saat ini belum sampai pada pengelolaan yang sinergis, hal ini disebabkan karena manajemen secara resmi dan dukungan pemerintah belum sepenuhnya dan baru dalam tahap awal pelaksanaan. 



 BAB. VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1.    Pengelolaan TNLL belum sampai pada pengelolaan yang sinergis, untuk itu perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut mengenai Co- Management, dan analisa stake holders yang lebih epektif agar pengelolaannya kedepan lebih efisien dan tidak saling tumpang tindih dalam suatu program.
1.        Pihak utama dalam pengelolaan TNLL dalam Co-Management adalah masyarakat  (masyarakat lokal) dan Pemerintah.
2.        Pihak utama terlibat dalam tahap perencanaan dan monitoring evaluasi dan penegakan hukum.
3.        NGO atau pihak ketiga dapat terlibat pada tahap implementasi program
4.        Pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik menjaga pembagian peran secara berkeadilan sesuai dengan fungsi birokrasi dengan fungsi sistem yang efisien.

6.2. Saran

             Disarankan kepada BTNLL agar manajemen data (Bank Data) untuk data base TNLL dapat dikelola sendiri sebagai lembaga otoritas terhadap BTNLL

6.3. Rekomendasi

            Perlu penelitian lebih lanjut mengenai TNLL dalam pengelolaan Co-Management.
DAFTAR PUSTAKA


Aliadi, A., 2003. Sejarah Kawasan Konservasi di Indonesia. Pustaka Latin, Bogor.

Anonim., 2003. Stake Holder Analysis. Bahan Diskusi Untuk Penggalian Data SCP. The Nature Conservancy. Palu.

Departemen Kehutanan., 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia. Departemen    Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan,. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi., 2002. Format Penulisan Karya Ilmiah. Depdiknas. Jakarta.

FAO/UNDP., 1977. Nature Conservation and Wildlife Management Indonesia, Interim Report FAO/UNDP.Rone.

Hamzah, A., 2004. Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Menuju Co-Management. Makalah Semiloka TNLL. Balai Taman Nasional Lore Lindu. Palu.

Munggoro, D.W., 1999. Manajemen Kemitraan : Meretas Kemelut Kawasan Konservasi. Makalah Dalam Widodo dan Aliadi. 1999. Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat Melalui Pengembangan Kemitraan Dalam Mengelola Sumberdaya Alam di Kabupaten Jember. Pustaka Latin. Bogor.

Pangemanan, N. P. L., 2001. Pengelolaan ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Dengan Pendekatan C0-Management. Tesis Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Jakarta.

Royana,R., 2003. Konsep konservasi Berbasis Masyarakat. Modul Magang Sylva Indonesia. Sylva Indonesia, Jogjakarta.

Sangadji,A., 2001. Moratorium Taman Nasional Lore-Lindu. Makalah Pengantar Untuk Debat Publik. Yayasan Tanah Merdeka. Palu.



Siswanto., 1998. Pengamanan Hutan dan Pembinaan Jagawana . Dalam R. Suratri dan A. Sriyanto (Ed). 1998. Prosiding Lokakarya Kepala Balai Taman Nasional Se-Indonesia, Lido Bogor, 21-25 Oktober 1998. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Us Agency For International Development dan Natural Resources Management Program. Jakarta.

Saparjadi,K., 1998. Pola Pengelolaan Taman Nasional.  Dalam R. Suratri dan A. Sriyanto (Ed). 1998. Prosiding Lokakarya Kepala Balai Taman Nasional Se-Indonesia, Lido Bogor, 21-25 Oktober 1998. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Us Agency For International Development dan Natural Resources Management Program. Jakarta.

Sembiring, S.N., 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Lembaga Pengembangan Hukum lIngkungan Indonesia (ICEL) NRM Program, Jakarta.

The Nature Conservancy,. 2003. Draft Management TNLL. The Nature Conservancy, Palu.

Widodo,. 2003. Kolaboratif manajemen Dalam Pengelolaan Taman Nasional. Suara Pembaharuan. Terbit 12 Maret 2003. Jakarta.







3 comments:

Anonymous said...

Hey there men I finally got about to registering in to the online community [url=http://www.webspawner.com/users/huyrtiy45blog/index.html]:)[/url]. Looking towards joining with this specific modest network here. I was looking around for a long time for something that would likely fit the bill and yes it had taken me some time but today I look forward to communicating with people who find themselves like-minded.

Anonymous said...

Fantastic beat ! I wish to apprentice whilst you amend your web site, how can i subscribe for a blog website?

The account aided me a appropriate deal. I have been tiny bit familiar of this your
broadcast offered vivid transparent concept

Have a look at my web-site - nosniki reklamy

Anonymous said...

Quality posts is the key to invite the people to go to see
the web page, that's what this website is providing.